Nikmat membawa sengsara
Selasa, 08 Desember 2009
“Selamat pagii..”, suara merdu itu menggema di ruangan tamu rumah kosku yang cukup lapang.
Selanjutnya terdengar suara batuk yang panjang, yang dikeluarkan dari kerongkongan yang sama.
Aku memandang si pemilik suara itu dengan rasa kasihan.
”Masih batuk Win?, kok kelihatannya semakin keras saja. Pergi ke dokter dong”.
Wiwin, si pemilik suara, hanya tersenyum manis. Dia membuka lemari es dan mengambil sebotol air es, langsung diteguknya tanpa memakai gelas lagi.
”Enggak kok Mas No’, ini mah sudah mendingan. Kemarin aku sudah konsultasi ke dokter katanya enggak apa-apa. Udah baik.”
Tetapi kata-katanya itu dilanjutkan lagi dengan batuk yang beruntun, membuatnya tersedak-sedak dan terbungkuk-bungkuk.
Itulah si Wiwin, satu-satunya cewek di tempat kosku ini. Namaku Nano, dan bersama ketiga kawanku (Dwi, Deni dan Atok) tinggal di rumah kost ini sudah semenjak dua tahun yang lalu. Kami sama–sama kuliah di salah satu universitas swasta beken di Jakarta ini, dan rumah kost ini kami pilih karena jaraknya yang sangat dekat dengan kampus. Selain harganya tidak terlalu mahal, rumah ini lumayan luas dan terawat baik (ada satu pembantu yang datang pagi-pagi untuk memasak, mencuci dan membersihkan rumah). Bagi kami, mahasiswa perantauan yang tinggal sendiri di ibukota, kondisi ini cukuplah. Kami merasa nyaman dan kerasan di rumah ini.
Hingga kemudian, datanglah si Wiwin. Wiwin adalah keponakan dari Ibu Hidayat, pemilik rumah kost ini. Ayah dan ibunya tinggal di Bandung tetapi telah bercerai semenjak dia berusia 5 tahun. Wiwin adalah anak tunggal, tampaknya perkembangan hidupnya menjadi kacau setelah perceraian itu. Dia tinggal bersama ibunya (yang sudah kimpoi lagi dengan duda beranak tiga), tetapi tampaknya sangat kurang mendapatkan kasih sayang. Dia berkembang menjadi gadis super bandel yang semenjak SMP hidupnya lebih banyak dihabiskan untuk berkeliaran pada malam hari bersama gengnya dari pada belajar, selalu merokok seperti kereta api dan membuat berbagai ulah yang merepotkan orang tuanya.
Pada saat berumur 17 tahun, dia mendapatkan dua 'hadiah' sekaligus, hamil di luar nikah dan dikeluarkan dari SMA nya karena kedapatan mengkonsumsi narkoba. Untung saja kehamilannya dapat dihentikan dengan pengguguran kandungan, tetapi untuk persoalan sekolah rupanya sudah tidak tertolong lagi. Si Wiwin sama sekali mogok tidak mau sekolah. Dia memilih tinggal di rumah saja, dan meneruskan kegiatannya lontang-lantung bersama gengnya dan terus memberikan kontribusinya terhadap pendapatan cukai negara dengan terus menerus merokok, tidak henti-hentinya.
Orang tuanya tampaknya sudah angkat tangan betul-betul dengan ulah anak gadisnya itu, sehingga sejak empat tahun yang lalu dia dipindahkan ke rumah Ibu Hidayat, bibinya yang jauh lebih ketat dalam beragama (pak Hidayat mempunyai pesantren kecil yang dikelolanya sendiri). Tetapi keluarga pak Hidayat yang alim inipun akhirnya angkat tangan terhadap ulah bandel si Wiwin, terutama karena keberaniannya menggoda para santri yang masih muda dan polos.
Akhirnya untuk mengurangi akibat buruk dari ulah begajulan keponakannya itu, pak Hidayat menempatkan si Wiwin di rumahnya yang dijadikan rumah kosku ini. Si Wiwin (dengan setengah dipaksa) mengambil kursus sekretaris, meskipun mungkin dia datang kursus cuma sebulan sekali. Dia ditempatkan di kamar yang paling besar yang terletak di belakang rumah, sehingga diharapkan kalau dia mau amblas malam-malam hari akan lebih mudah dikontrol karena harus melewati kamar-kamar kost yang lain. Tetapi inipun tidak membantu. Si Wiwin tidak peduli dengan pandangan anak-anak kos, dia tetap dengan santainya meneruskan kebiasaannya setiap hari, berkelana dan merokok seperti kereta api.
Itulah sekelumit kisah hidup si Wiwin, teman kost kami. Dan inilah sekelumit fakta lain mengenai dia, dari segi fisik, si Wiwin (ini sungguhan) astaga-naga cantiknya.
Tubuh si Wiwin ini tinggi juga (+/- 168 cm), kulitnya putih mulus dengan rambut hitam tebal, mata seperti kijang dan mulut super sensual dengan bibir agak tebal. Buah dadanya berukuran 36 D (wuaah.., gede banget), dengan pinggul yang benar-benar membuat mata setiap lelaki melotot memandangnya. Dan hebatnya, tubuh bahenol itu kalau di rumah sering hanya ditutupi dengan selembar daster tipis yang hanya disangkutkan di bahu pemakainya dengan dua utas tali kecil, sehingga keindahan punggung dan lengannya tampak dengan jelas dan menjadi konsumsi gratis mata anak-anak kos.
Pokoknya, si Wiwin sungguh-sungguh top badannya. Lha, kenapa kami selama ini masih bisa menahan diri, tidak menubruk tumpukan daging indah yang setiap hari melintas di hadapan kami itu? Alasannya adalah, semenjak dia masuk ke rumah kost ini (kira-kira setahun yang lalu), si Wiwin sudah disamber si Roni, salah seorang teman sekampusku, dan dengan bangga diproklamasikan sebagai pacarnya. Mereka berkenalan ketika si Roni main ke tempat kost kami, dan dalam waktu seminggu mereka sudah lengket seperti permen karet.
Kami sudah mengingatkan Roni mengenai kabar kabur si Wiwin yang tidak begitu baik dan hobinya yang suka ngelayap dengan sembarang orang, tetapi teman kami itu tidak peduli. Mereka berpacaran dengan bersemangat, dan hebatnya kami melihat bahwa si Wiwin yang begajulan itu akhirnya tunduk juga. Dia sudah agak jarang pergi malam hari, kecuali diantar si Roni. Kalau pacaran mereka juga lebih banyak duduk saja di bawah pohon jambu di halaman rumah, sambil makan bakso yang sering lewat malam-malam. Sungguh romantis.
Nah, kira-kira dua bulan yang lalu, si Wiwin mulai sakit. Dia bilang tubuhnya sering lemas dan panas, ditingkahi dengan sesak napas dan batuk yang tidak ada hentinya. Kamipun dengan mudahnya memvonis, itu pasti akibat rokok yang tidak pernah lepas dari mulutnya. Wiwin sering terbaring lemas di kamarnya, meringkuk di balik selimut tebal. Bapak dan Ibu Hidayat sering menengoknya dan secara rutin membawanya ke dokter. Acara ke dokter ini tampaknya semakin lama semakin sering, tetapi mereka sungguh tutup mulut mengenai apa sakit si wiwin sebenarnya. Kalau ditanya pun, si Wiwin cuma menjawab, “Enggak tahu, TBC ‘kali..”, sambil mencibirkan bibirnya yang seksi.
Pada awal-awal sakitnya, Roni dengan rajin mengantar pacarnya itu ke rumah sakit. Hampir tiap hari dia datang, memijiti si Wiwin dan memberinya obat. Sunguh pacar kelas satu. Tetapi pada minggu-minggu terakhir ini, ada perkembangan drastis. Itu dimulai ketika suatu malam, Roni berbicara serius dengan bapak dan Ibu Hidayat di halaman depan rumah. Waktu itu si wiwin baru pulang dari dokter, sakitnya kumat dengan hebat dan dia meringkuk di kamarnya dengan tubuh menggigil. Hampir satu jam tiga orang itu berbicara di depan rumah, dan akhirnya si Roni masuk ke dalam dengan wajah yang sangat aneh, antara marah dan sedih, matanya berkaca-kaca. Dia mendatangi kamar Wiwin tetapi tidak masuk ke dalamnya. Dia hanya memandang tubuh pacarnya yang meringkuk di balik selimut dari balik kaca, berkali-kali menarik napas panjang dan akhirnya pergi tanpa pamit.
Dan ternyata itulah kali terakhir si Roni datang ke tempat kost kami. Waktu kami tanyakan ke Wiwin, dengan santainya dia menjawab, ”Kami udahan kok.., putus! nggak cocok ‘kali. Mana ada cowok macem Roni yang mau dengan cewek kaya gue“. Meskipun dinyatakan dengan bercanda, ada nada kepedihan dalam suaranya. Waktu kami konfirmasikan ke Roni, dia selalu mengelak. Waktu kami desak, ia hanya berkata pendek, ”Udahlah. Kami udah putus. Nggak ada apa-apa lagi.” Tetapi pada akhir kalimatnya, ia memberikan peringatan yang aneh, dengan suara bergetar, ”Kalian semua, jauhi si Wiwin itu. Dia sangat berbahaya.” Dan tanpa menjelaskan lebih jauh maksudnya, si Roni cepat-cepat ngeloyor pergi.
*****
Nah, kembali ke depan, di pagi hari yang indah yang ditingkahi dengan batuk rutin dari si cantik. Ketika Wiwin selesai dengan batuknya, muncullah ketiga teman kosku yang lain dari kamar masing-masing. Ini hari minggu, jadi kami bangun telat banget. Si bibik pembantu sudah selesai masak, mencuci dan membersihkan rumah, dan sekarang dia sudah pulang. Jam menunjukkan pukul delapan pagi.
“Selamat pagi, Win“, kata Dwi dengan hormat.
Salam yang juga diikuti oleh Deni dan Atok bersama-sama. Wiwin menjawab dengan hormat juga (basa basi), ”Selamat pagi, kakak-kakakku sayang. Enak benar tidurnya? ngimpi apa ya semalam?“ tanyanya dengan suara nakal.
“Eehh.., mimpi jorok“, kata Dwi sekenanya.
Deni dan Atok hanya nyengir sambil menggaruk kepala, memandang tubuh Wiwin yang terbalut daster kebesarannya. Tubuh gadis itu sudah lebih kurus dari sebelum sakit, tetapi tetap sangat seksi. Wajahnya yang sedikit cekung malah tampak semakin merangsang bagi kami. Wiwin terkikik mendengar jawaban itu.
”Waa.., mimpi jorok apaan yah? Mas mimpi main jorok sama siapa hayoo?”.
Dwi (yang tampaknya masih setengah ngantuk) menjawab lagi sekenanya.
“Yah, mimpi main jorok sama kamu Win.., sama siapa lagi. Wong kita tiap hari ketemu, ya pastinya kebawa juga dalam mimpi.”
Kali ini mata Wiwin yang indah terbelalak, disusul tawanya yang berderai, ”Mosok sich Mas? bohong ah”.
“Bener”, kata Dwi meyakinkan.
“Enak nggak?“ tanya Wiwin menggoda.
Wah, ini mulai panas, pikirku.
“Enak dong“, kata Dwi lagi.
Kesadarannya sudah kembali penuh dan sekarang dia memang siap main goda-godaan.
”Terutama waktu kamu lagi.., apa yaah..”, katanya sambil pura-pura mengingat.
“Waktu lagi dicoblos kontol Mas ya?”, tanya Wiwin.
Walah, kami semua tersentak kaget. Jorok banget mulut cewek ini! Meskipun kami tahu si wiwin ini cewek urakan, tetapi karena selama ini selalu menjaga jarak dengan dia maka kami tidak tahu bahwa dia punya mulut secomberan itu.
Dwi tersedak-sedak minumnya, berusaha menjawab dengan tenang.
”Iya, waktu itu juga, tapi paling hebat waktuu...”, dia pura-pura mengingat lagi.
“Waktu kita main enam sembilan yach? waktu Mas jilatin memek saya dan waktu saya isep kontol Mas yach?“, tanya Wiwin semakin menggoda.
Kami hampir pingsan mendengarnya. Blak-blakan banget! tetapi pada saat itu, nafsu kamipun mulai naik. Ini cewek jelas sedang menggoda kami. Dan kami saat ini memang sedang sangat siap untuk digoda!
“Hiyaa.., betullah itu“, jawab si Dwi sambil berjingkrak.
”Kamu hebat sekali Win. Bisa saja kamu menebak.”
Si wiwin sekarang berdiri di depan kami (kami berempat sedang duduk menggelosor di karpet, di depan TV). Dia memandang kami berganti-ganti dengan mata yang nakal.
”Teruuss.., bagaimana ini? Mas mau sebatas mimpi apa mau direalisasikan? Wiwin mau loh!”, dia berkata dengan serius.
Dia menggoyang-goyangkan badannya mengikuti lagu dangdut dari TV, membuat buah dadanya yang super besar bergerak-gerak menggairahkan.
Aku yang pertama mencoba sadar.
”Udahanlah Win. Ini cuman bercanda kok. Lagian kamu lagi sakit, jangan pikir yang macem-macem deh. Gih sono kamu mandi dulu.”
Kamar mandi kami memang cuma satu, jadi kami selalu antre mandi kalau pagi.
Tetapi si Wiwin malah membelalakkan matanya yang indah.
”Wii.., emangnya Mas Nano kira gua bercanda? Ini bener nih! Wiwin pingin dan mau!“.
Dan tanpa diduga oleh kami semua, dengan cepat Wiwin meraih tali dasternya dan sekali sentak menariknya. Daster itu dalam sekejap jatuh ke lantai.
Kini, Wiwin telah berdiri telanjang bulat di depan kami. Ternyata dia tidak memakai baju dalam apapun. Dengan bebas kami melihat tubuhnya yang sangat bahenol, buah dadanya yang berukuran 36 D tergantung bebas dengan puting cokelat kemerahan. Meskipun sangat besar, buah dada itu tampak tidak melorot meskipun tidak disangga bra. Perutnya yang putih mulus, pahanya yang jenjang, dan sekumpulan bulu lebat yang menutupi selangkangannya. Bulu-bulu itu lebat sekali, sehingga aku tidak bisa melihat belahan kemaluannya sama sekali. Aku menelan ludah. Ini mimpi apa beneran?
Wiwin berdiri dengan tetap memutar mutar badannya pelan ke kanan kiri, mengikuti musik di televisi.
”Hayooo.., Wiwin sudah siap nih. Lihat dong badan Wiwin, nggak usah dibawa ke mimpi segala macam. Mas-Mas kan tiap hari melotot melihat Wiwin kan? Nih dia, sekarang Wiwin kasih gratis buat Mas-Mas.”
Dan sambil berbicara dia mulai melenggak-lenggok, seperti penari striptease (tukang kelayapan macam dia pasti sudah tahu, apa malah dia pernah melakukan?).
Kedua tangannya menelusuri tubuhnya sendiri, dan meremas-remas buah dadanya yang menggelembung. Disangganya buah dadanya dengan telapak tangannya, dan dengan gerakan menggoda mendekatkan buah dadanya ke wajahku.
”Niih Mas Nano, nikmati deh..., ayoo, nggak usah malu-malu”.
Aku masih terdiam karena kaget dan terpesona. Tetapi kini puting buah dada Wiwin mulai digesek-gesekkan ke wajahku, terasa hangat dan lembut.
Aku mendesah. Godaan ini terlalu besar untuk dilawan. Aku memilih untuk menyerah. Kubuka mulutku, dan sekejap kemudian puting itu telah masuk ke mulutku. Kuhisap–hisap dengan nikmat (dan memang sangat nikmat), mulutku mulai merambah dan menghisap lebih banyak lagi bagian buah dada yang besar itu. Kudengar Wiwin mendesah-desah.
”Aahh..., enak Mas. Isep terus Mas..., auuuhh...”, sambil tangannya meremas dan menarik-narik rambutku dengan gemas.
Ketika aku sedang asyik mengisap, kurasakan ada tubuh lain mendesak di sebelahku. Ternyata si Dwi, dia mengikuti langkahku dengan mengisap buah dada kiri si Wiwin. Dengan dua laki-laki yang menyusu dengan lahap itu, Wiwin tampak terangsang berat. Dia mengerang-ngerang dan mendesah, kedua tangannya memegang kepala kami seakan kuatir kami akan melepaskan hisapan kami.
Lima menit kami melakukan aktivitas kami, ketika aku merasa ada tubuh lain mendesak di bawah kami. Ternyata Deni, menyungkupkan wajahnya ke selangkangan Wiwin yang terbuka. Dengan ganas dia menjilat dan menghisap kemaluan Wiwin yang berbulu super lebat itu, begitu hebatnya sehingga aku mendengar suara berkecipak dari mulutnya. Wiwin semakin menggila. Digerak-gerakannya pinggulnya sehingga kemaluannya bergesekan semakin keras ke mulut Deni. Kedua insan itu saling merenggut dan merengkuh, erangan dan desahan keduanya terdengar saling bersahutan.
Tampaknya rangsangan yang dirasakan Wiwin lebih besar dari yang dapat ditahannya. Kulihat dan kurasakan tubuh dan kakinya bergetar, tubuhnya semakin melengkung ke depan dan akhirnya dia roboh..., kami bertiga (sambil tetap melanjutnya hisapan kami) menahan tubuh itu dan dengan perlahan–lahan membaringkannya ke atas karpet. Kini dia tidur telentang, tetap bergoyang-goyang menahan rangsangan jilatan dan hisapan kami.
Tiba-tiba Dwi melepaskan hisapannya pada puting dada Wiwin, dan menoleh ke Atok yang masih duduk bengong di karpet.
”Ini Tok.., gantian lo yang ngisep. Enak bener rasanya. Kagak ada yang ngalahin“, katanya sambil menjepit puting Wiwin dengan jari telunjuk dan jempolnya.
“Rasain deh.”
Atok (yang tampaknya juga sudah terangsang berat) segera menyerbu dan memasukkan buah dada bahenol itu ke mulutnya hingga kembali terdengar suara berkecipak dan sedotan dari mulutnya.
Kulirik ke bawah, tampak Deni tetap bersemangat menjilat dan mengisap kemaluan Wiwin yang kini tampak sangat basah. Pinggul gadis itu tetap bergerak-gerak dengan liar mengimbangi jilatan Deni, pahanya yang mulus terangkat ke atas dan menelikung kepala Deni. Aku sungguh ingin merasakan memek si Wiwin, tetapi kutahan dahulu nafsuku. Aku punya rencana lain.
Aku melepaskan hisapanku pada dada Wiwin, dan berdiri. Kulepaskan celana pendekku, sehingga kini kemaluanku tampak tegak berdiri siap tempur. Kemudian aku merendahkan tubuhku dan mendekatkan kemaluanku ke mulutnya.
”Isepin Win...”, kataku penuh nafsu, ”Kamu mau kan?”.
Tetapi pada saat itu kurasakan tangan Dwi menepis lenganku.
”Gua duluan, brengsek” katanya parau.
”Gua udah ngimpiin sejak semalem“, kulihat dia, ternyata Dwi sudah telanjang bulat dan juga mengarahkan kemaluannya yang super besar (paling besar di antara kami bertiga) ke mulut Wiwin.
Wiwin terkikik-kikik, pura-pura bingung.
”Aduuh.., bagaimana nih? Kok ada dua kontol rebutan minta diisep? Wiwin bingung dah“.
Tapi sambil berkata begitu, kedua tangannya memegang kemaluanku dan kemaluan Dwi dan segera membetotnya ke mulutnya.
”Gih, masukin aja dua-duanya. Wiwin demen banget.”
Dibukanya mulutnya lebar-lebar, dan dimasukkannya kepala kemaluan kami ke dalamnya. Tentu saja tidak bisa masuk semua, tetapi cukuplah bagi Wiwin untuk menyapu-nyapukan lidahnya ke kepala kemaluan kami. Aku mendesah. Seakan rangsangan listrik menjalari batang kemaluanku, rangsangan yang sungguh luar biasa. Jari-jari lentik Wiwin memegang batang kemaluanku dan batang kemaluan si Dwi serta mengocoknya dengan berirama. Kami berdua mengerang-erang menahan nikmat.
Akhirnya aku tak tahan lagi.
”Dwi, gua duluan yah. Gua udah mau muncrat rasanya.”
Dwi menangguk, dan mencabut batang kemaluannya dari mulut Wiwin. Mulut Wiwin sekarang bebas, dan aku segera mengambil posisi. Dengan gaya anjing mau kencing, kukangkangi kepala Wiwin dan kusodorkan kemaluanku ke mulutnya. Wiwin dengan hangat menyambut dan langsung mengisap hampir separuh panjang kemaluanku. Kurasakan lidahnya berputar-putar di kemaluanku, dan sesekali giginya menggigit-gigit kecil dengan gemas. Sementara kulihat tangan kirinya tetap mengocok batang kemaluan Dwi dengan berirama.
Aku semakin menggila. Dengan setengah menelungkup, kugoyangkan pinggulku sehingga kemaluanku keluar masuk mulutnya. Ditingkahi dengan jilatan lidahnya di sekujur batang kemaluanku dan sedotan-sedotannya yang terasa semakin lama semakin kuat, aku merasa tidak tahan lagi. Aku menegangkan bagian bawah badanku, kutarik kemaluanku sehingga agak jauh dari kerongkongan Wiwin (supaya dia tidak tersedak, pikirku), dan crooot..., crooot..., muncratlah seluruh air maniku di dalam mulutnya. Hebat sekali, si Wiwin sama sekali tidak mengendorkan sedotan dan tarian lidahnya selama proses ejakulasiku berlangsung. Hanya kurasakan desahan napasnya kian memburu dan matanya kini sama sekali tertutup.
Setelah seluruh maniku keluar, aku tetap menelungkup di atas kepala Wiwin dan kemaluanku tetap berada di mulutnya. Meskipun senjataku terasa semakin mengecil, sepertinya Wiwin enggan melepaskannya. Kurasakan sedotannya masih berlanjut dan lidahnya (yang kini terasa sangat basah karena bercampur dengan air maniku) masih terus bermain menelusuri batang kemaluanku. Tetapi kenikmatan itu tidak berlangsung lama. Si Dwi yang sejak tadi dikocok-kocok kemaluannya oleh Wiwin, tampaknya sudah tidak sabar lagi. Didorongnya tubuhku sehingga hampir terjengkang ke kanan.
”Gantian lu, brengsek. Gua sudah nggak tahan.”
Dan tanpa basa basi lagi didorongnya kemaluannya ke mulut Wiwin yang setengah terbuka dan masih belepotan air maniku.
Wiwin tampak sangat kewalahan dengan tindakan si Dwi yang tampak seperti kesetanan itu. Temanku yang biasanya pendiam itu sungguh berubah menjadi mahluk yang liar dan ganas. Digoyangkannya pinggulnya sekuat tenaga, tanpa memperhatikan apakah Wiwin tidak mati tersedak karena ulahnya tersebut. Kulihat juga wajah Wiwin tampak menahan serangan itu, mulutnya terbuka lebar disesaki oleh batang kemaluan Dwi yang super besar dan kudengar gumamannya, “Mmmpph..., mppppff..”, dengan nada memprotes.
Aku yang sekarang duduk menggelesot di lantai karpet melihat adegan itu, dan kulihat juga si Deni dan Atok juga menghentikan aktivitasnya dan memandang adegan ganas itu dengan mulut melongo. Aku hampir saja akan mengingatkan si Dwi supaya tidak terlalu ganas bekerja, ketika tiba-tiba dia menghentikan “goyang ngebor”-nya dan mengerang keras.
”Haagh..., gua kelu...”, kata-katanya terputus ketika dia menegangkan badannya.
Tanpa melihatpun aku bisa mengetahui bahwa dia sedang melepaskan simpanan air maninya di dalam mulut Wiwin.
Kulihat wajah Wiwin memerah, matanya melotot dan karena dia dalam posisi telentang maka tidak ada air mani yang lolos keluar dari kerongkongannya. Tampaknya dia sudah tidak kuat lagi, dan didorongnya tubuh Dwi ke samping sehingga Dwi terguling di karpet. Wiwin membalikkan tubuhnya, dan dengan napas tersengal-sengal menundukkan kepala dan mengeluarkan sebagian mani di mulutnya ke karpet.
”Aduuh..., kalian keterlaluan deh. Kalo napsu ya napsu tapi inget dikit doong..., kan Wiwin bisa mati kesedak. Hi, hi, hi..”.
Wah, aku kira dia akan marah tapinya malah terkikik-kikik ketawa. Dengan genit dicubitnya si Dwi.
”Itu burung isinya berapa liter sih? bisa bikin anak sekampung beneran.”
Mendengar itu Dwi hanya diam saja. Napasnya masih tersengal-sengal.
Dengan gaya lemas si Wiwin berdiri dan berjalan gontai menuju kulkas. Diambilnya botol air es dan diminumnya dengan gaya khasnya, langsung ditenggak tanpa pakai gelas lagi. Setelah napasnya kembali teratur, dia memandang kami berempat yang masih duduk menggelosor di karpet dengan pandangan lucu (ingat, dia masih telanjang bulat lho. Untung kaca jendela masih tertutup gorden sehingga orang di jalan tidak bisa melihat tubuhnya yang bahenol).
“Udah puas nggaak..?” tanyanya lucu.
”Mas Dwi sama Mas Nano udah keluar simpenannya berliter-liter. Tapi Mas Deni dan Mas Atok kan belum. Mau diterusin nggak?”, tanyanya sambil melihat kepada dua teman kami itu.
Deni dan Atok saling berpandangan, dan meskipun tidak berkata-kata keduanya tampak sepakat. Mereka berdiri dan dengan secepat kilat menyerbu tubuh Wiwin yang masih berdiri di sebelah kulkas. Deni memeluk dari depan, Atok dari belakang, keduanya dengan ganas menciumi wajah dan leher Wiwin. Tangan mereka berebutan meremas buah dada dan kemaluan Wiwin, sedemikian bernafsu dan kacaunya sehingga gadis itu (eh, memangnya dia masih gadis?) menjerit dan tertawa terkikik-kikik.
”Hi, hi, hi.., aduuh..., berhenti dulu..., stoop dulu deeh..., kalo main yang lembut doong..”.
Dan dengan sekuat tenaga Wiwin melepaskan diri dari dekapan dua serigala kelaparan itu dan berdiri agak menjauh.
”Udaah.., udaah..., kalian kayak orang belum pernah pegang badan cewek saja”, katanya sambil tersedak-sedak ketawa.
”Buka dulu baju kalian dong. Baru kita main beneran. Ayo!”, perintahnya.
Deni dan Atok saling berpandangan, dan seperti dikomando mereka segera membuka baju dan celananya. Hanya dalam hitungan detik keduanya sudah telanjang bulat, kulihat kemaluan mereka mengacung ke atas karena sangat tegang. Namun keduanya tetap berdiri diam, seakan menunggu komando dari Wiwin lagi.
Wiwin tersenyum senyum menandang dua jagoan itu, seperti gaya cewek yang lagi memilih-milih barang di toko.
”Mmm..., lumayan juga kalian deh”, katanya sambil terus melihat keduanya berganti ganti.
”Bukan wajah dan tubuhnya lho..., kalau itu mah kalian nilainya cuman dapet lima setengah. Tapi kontolnya itu lho.., sungguh menggairahkan.”
Dan sambil berkata begitu, didekatinya Deni dan Atok, dipegangnya batang kemaluan keduanya dengan tangan kanan dan kiri dan dikocoknya lembut.
”Kita mulai yach..”, desahnya penuh godaan.
Kemudian didorongnya Deni dengan lembut.
”Elo telentang deh Den..., kamu coblos memek gua sekarang.”
Deni menurut seperti orang bego, sekarang dia telentang di karpet dengan batang kemaluannya mengacung ke atas seperti tiang bendera. Wiwin memandangnya seperti serigala kelaparan, diremasnya kemaluan Deni, dikocok dan akhirnya dikulum dengan buas.
”Gua tegakin dulu yach”, gumamnya dengan napas memburu.
Semenit kemudian dilepaskannya kulumannya dan benar saja, kemaluan Deni sekarang sudah jauh lebih kencang lagi dan berkilat karena ludah si Wiwin.
Wiwin terkikik gembira dan segera melompat ke atas pinggul Deni. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya membuka bibir kemaluannya, sedang tangan kirinya memegang batang kemaluan Deni dan diarahkan ke lubang yang sudah terbuka itu.
”Masukkan kontolmu sayang, rasakan nikmatnya memek ini.”, desisnya (astaga, mulutnya comberan banget!).
Direndahkannya tubuhnya, sehingga kepala kemaluan Deni mulai melesak ke dalam lubang kemaluannya.
“Aahh...”, desahnya.
Aku sudah menduga kalau lubang memek si Wiwin ini pasti sudah agak longgar karena terlalu banyak dipakai. Dan ternyata benar. Tanpa terlalu banyak usaha, batang kemaluan Deni yang berukuran menengah itu langsung melesak seluruhnya ke dalam lubang kemaluan Wiwin. Wiwin terkikik kecil dan akhirnya merebahkan tubuhnya ke atas tubuh Deni. Buah dadanya yang super besar menggantung bebas, tangan Deni segera menyambut dan meremasnya. Wiwin mendesah nikmat.
“Enak ya?”, desahnya pada Deni.
“Hnggh..., enak” jawab Deni. Matanya terpejam.
“Kerasa longgar nggak? Apa sudah ngejepit?” tanya Wiwin, rupanya dia juga menyadari kalau dia sudah lama sekali tidak perawan dan sudah dicoblos entah berapa banyak laki-laki.
“Nggak kok Win, masih enak sekali”, jawab Deni.
Matanya merem melek dan pinggulnya mulai bergerak-gerak. Wiwin mengimbangi gerakan itu dengan menaik turunkan pinggulnya yang besar dengan berirama. Napas mereka memburu, seakan lupa sama sekali dengan tiga laki-laki lain yang mengitarinya dan memandang adegan super porno itu dengan jelas. Karena aku kebetulan duduk di karpet dengan menghadap pinggul Wiwin, aku dapat memandang dengan jelas batang kemaluan Deni yang bergerak keluar masuk lubang kemaluan Wiwin dengan berirama. Sangat merangsang.
Lima menit adegan itu berlangsung, gerakan mereka semakin liar dan pinggul Wiwin semakin keras bergerak, ke atas ke bawah dan ke kiri kanan. Desahan dan erangan mereka terdengar semakin lama semakin keras. Tetapi tiba-tiba Wiwin mengentikan gerakannya. Kepalanya menengok ke arah Atok yang masih berdiri tegak di sebelahnya.
”Aduuh, Mas Atok yang malang”, kata Wiwin dengan lucu.
”Masih nunggu giliran yach? Sini, masukin kontolmu ke Wiwin”, katanya lagi.
Tangan kanannya meraih pinggulnya dan membuka belahan pantatnya, ”Ayoo Mas, cepetan”.
Atok tampak bengong, ”Dimasukin ke mana Win?”, tanyanya.
Wiwin pura-pura jengkel, ”Ya dimasukin ke pantat, bego! Belum pernah main pantat ya?”, tanyanya.
Atok garuk-garuk kepala, ”Ee..., belum pernah Win. Gimana rasanya?”.
“Pokoknya luar biasa deh. Ayoo, cobain sekarang. Nggak sembarang cewek mau beginian loh”, Katanya setengah memaksa.
Atok dengan gerakan kikuk menuruti perintah itu, dan mengarahkan kemaluannya ke lubang pantat Wiwin yang sudah setengah terbuka itu, ”Begini ya Win?” tanyanya meminta konfirmasi.
Wiwin mengangguk, ”Iyaa.., begitu. Coblos saja sekarang yok. Jangan ragu-ragu.”
Atok menurut, dan kulihat pinggulnya bergerak ke depan. Pelan tapi pasti, batang kemaluannya melesak ke dalam lubang pantat Wiwin. Sekarang Wiwin melepaskan tangannya dari belahan pantatnya, sehingga seluruh kemaluan Atok terjepit pantat yang bahenol itu.
“Aaah.., enaak” desis Wiwin.
Kepalanya menoleh ke belakang, ”Kamu enak nggak Mas?”, tanyanya.
Atok mengangguk sambil mulai menggoyang pantatnya ke depan dan ke belakang.
”Hiyaah nih..., enak banget. Gua belum pernah ngerasain Win. Peret banget...”.
Sambil berkata begitu ia semakin memperkuat gerakannya, sedangkan kedua tangannya meremas-remas pantat Wiwin yang bahenol.
Wiwin terkikik senang, ”Gitu doong. Sekarang kita mulai main kuda-kudaan ini yah”, katanya.
Dan dia segera mulai menggerak-gerakkan pantatnya lebih kuat lagi sehingga kemaluan Deni semakin cepat keluar masuk lubangnya yang sudah tampak sangat basah. Ketiga orang di depanku ini sudah tampak sangat kesetanan, terbenam nafsu yang luar biasa, sama sekali lupa pada lingkungan sekitarnya. Sedemikian kuatnya mereka memompa, sehingga terdengar suara berkecipak ketika cairan kemaluan Wiwin muncrat tertekan batang kemaluan Deni. Sekali lagi posisi dudukku yang dekat dengan pinggul Wiwin menyebabkanku dapat melihat dengan jelas bagaimana kedua batang kemaluan itu merojok-rojok kedua lubang di tubuh Wiwin.
Sekali lagi, dalam kondisi yang sangat terangsang si Wiwin masih menyimpan kesadaran. Sambil bertumpu pada kedua belah tangannya menahan tubuhnya yang semakin kuat bergoyang-goyang ditekan goyangan si Atok dan Deni, wajahnya berpaling kepadaku yang sedang duduk bengong memperhatikan.
Mulutnya tersenyum nakal, ”Mas Nano, mau diemut lagi nggak? Mulut Wiwin lagi kosong nih. Yok sini...”, katanya sambil mengeluarkan lidahnya menggoda.
Aku, yang masih terpesona dengan segala keadaan yang serba tidak terduga ini, menggeleng.
”Nggak deh Win. Gua udah cukup duluan. Terusin aja sama sama si Atok dan Deni”, kataku.
Wiwin tertawa nakal, ”Wii.., diberi kesempatan kok malah nggak mau. Ya sudah”, katanya.
Ia berpaling ke Dwi, mungkin maksudnya menawarkan hal yang sama, tetapi tidak jadi ketika melihat Dwi sudah tidur telentang dengan mata menerawang ke atas. Tampaknya dia sama denganku, masih shock menghadapi segala kejadian yang begitu tiba-tiba ini.
Permainan ketiga orang di depanku tampak semakin memanas. Kulihat Atok semakin melebarkan kedua kakinya, sehingga dia kini dalam posisi berdiri terkangkang lebar-lebar dan semakin keras merojok-rojokkan batang kemaluannya ke lubang pantat Wiwin. Demikian juga Deni dalam posisi telentang semakin kuat menggoyang pantatnya ke atas, mencoblos lubang kemaluan Wiwin yang tampak semakin basah.
Akhirnya, kulihat wajah Atok meringis, ”Adduuh.., akuu...”, erangnya.
Dan akhirnya dia mencabut kemaluannya dari lubang pantat Wiwin, dan muncratlah air maninya, banyak sekali, menyemprot ke arah pangkal dan biji kemaluan Deni yang masih menancap di lubang memek si Wiwin.
Wiwin terkikik, ”Hiii.., bang Atok udah kalah nih. Puas nggak Mas?”, tanyanya sambil menoleh ke belakang, sambil terus menggoyangkan pantatnya naik turun.
Atok mengangguk, ”Enak banget Win. Belum pernah aku keluar mani sebanyak ini”, ujarnya sambil bergerak menjauh.
Tapi Wiwin segera memanggil, ”Eeh.., mau kemana Mas. Sini Wiwin bersihin kontol mas. Lihat tuh, belepotan banget”, katanya.
Diraihnya kemaluan si Atok dan ditariknya ke arah mulutnya. Dengan paksa ditariknya batang kemaluan yang sudah lemas itu dan segera dimasukkan ke mulutnya. Terdengar suara seperti orang menyeruput air ketika ia menyedot dan membersihkan kemaluan Atok dengan lidahnya.
Atok mendesah, ”Win, apa elo nggak jijik..., kan ini baru keluar dari lubang pantat kamu”, katanya.
Kulihat Wiwin membelalakkan matanya, sekejap mengeluarkan kemaluan Atok dari mulutnya.
”Jijik apaan.., wong napsu banget kok. Kalau udah main begini jangan omong soal jijik. Gua aja pernah dikencingin kok. Malah nikmat banget”, katanya sambil mulai lagi mengulum kemaluan Atok.
Temanku yang alim itu jadi diam saja.
Pada saat itu kulihat Deni semakin blingsatan gerakannya, napasnya semakin memburu dan tangannya semakin ganas meremas buah dada Wiwin yang seperti balon.
”Win, cepetin goyangannya. Aku mau keluar”, erangnya.
Wiwin (sambil terus mengulum kemaluan Atok) semakin memperkuat goyangan pinggulnya, dan akhirnya dia ikut menjerit.
”Aduuh, Mas Denii.., aku juga mau keluaar”.
Kulihat tubuhnya menegang, sebelum akhirnya melemah kembali. Kulihat ke arah kemaluannya, tampak cairan membanjir keluar dari sela-sela kemaluan Deni dan bibir kemaluan Wiwin. Campuran air kenikmatan kedua insan tersebut begitu banyak, mengalir ke arah bola kemaluan Deni dan bercampur dengan air mani Atok.
Wiwin tampak sangat menikmati orgasme itu. Dia menelungkupkan badannya ke tubuh Deni, matanya tertutup dan napasnya tersengal-sengal. Tangan kanannya masih meremas-remas kemaluan Atok yang kini duduk di dekat kepala Wiwin. Deni memeluk tubuh bahenol yang ada di atasnya itu.
”Kamu puas Win? Bagaimana pelayanan kami berempat?”
Wiwin mendesah puas, tetap menutup matanya.
”Asyiklah Mas, luar biasa kalian ini. Kalau tahu begini dari dulu aku nggak perlu bingung cari-cari laki-laki pemuas napsu.”
“Kan ada Roni”, kata Atok menimpali.
”Memangnya dia nggak pernah beginian sama kamu?”
Wiwin mencibir, ”Uuh..., si Roni?” tanyanya.
”Boro-boro. Orang alim macem itu.., tiap kali pacaran kerjanya cuman kasih nasehat doang. Paling banter cium bibir. Pegang susu aja kagak berani”.
Aku tertawa menimpali, ”Bego banget si Roni ya. Ada barang begini indah dia ngak mau. Gratisan lagi”, kataku sambil mengelus-elus punggung Wiwin yang masih tidur telungkup di atas tubuh si Deni.
Wiwin memukul tanganku, ”Enak aja, gratisan.., emangnya gua apaan?”, katanya sambil tertawa.
Dia kini berusaha berdiri, tetapi limbung dan akhirnya jatuh dan tidur telentang di sebelah tubuh Deni.
”Aduuh.., gua capek sekali nih. Maklum belum sehat”, katanya.
Dan seperti dikomando, mulailah serangan batuknya yang sejak kami mulai main tadi entah kenapa sama sekali berhenti. Aku pergi ke kulkas dan memberikan botol air es padanya.
”Minum dulu Win”, kataku.
Dia hanya minum seteguk.
”Udah ah, aku tadi udah minum mani kalian banyak sekali. Itu kan juga obat”, katanya sambil berdiri.
”Udahan dulu ya, Wiwin harus pergi ke rumah temen sekarang. Tapi Mas-Mas mau maen kaya tadi lagi kan? Wiwin pengen sekali lho, Oke?”
“Oke Wiin”, jawab kami seperti koor.
“Asyiklah kalau begitu. Sekarang gua sudah dapet dua, lainnya pasti menyusul”, katanya.
Aku tidak mengerti maksudnya. Wiwin berdiri, menyambar daster kebesarannya, tersenyum manis dan masuk ke kamar mandi. Tinggallah kami berempat di ruang tamu, telanjang bulat dan sama sama terdiam setengah bengong memikirkan apa yang tadi baru kami alami.
Itulah awal dari segalanya...
Mulai hari itu, Wiwin menjadi “mainan” kami. Tidak peduli pagi, siang, sore atau malam, setiap ada kesempatan kami selalu menggerayangi dan menikmati tubuhnya. Wiwin tidak pernah mengeluh, tidak pernah menolak, bahkan anehnya dia tampak “setengah memaksa” agar kita mau menikmati tubuhnya. Aku sadar dia ternyata ********* yang luar biasa, sangat suka permainan oral (“main emut” istilah dia), dan tidak segan-segan melakukan segala cara yang tidak lazim untuk memuaskan nafsu seks kami.
Kuliah kami jadi kacau balau, karena kami lebih suka tinggal di rumah dan melakukan pesta seks dengan Wiwin daripada pergi ke kampus. Tidak ada rasa malu lagi bagi kami untuk bersetubuh secara bergiliran (kadang-kadang Wiwin duduk di kursi dengan kaki terkangkang di sandaran tangan kursi, dan kami bergiliran menyetubuhinya). Aku sudah mulai terbiasa bangun pagi dengan “jam weker” si Wiwin (dia memang kalong, paling telat tidurnya dan paling cepat bangunnya di antara kami). Caranya membangunkan kami adalah dengan mengulum dan menarik-narik batang kemaluan kami secara bergantian, sampai kami bangun.
Kalau sudah begitu, siapa yang masih punya pikiran untuk ikut kuliah pagi?
0 komentar:
Posting Komentar